BAB I
Pendahuluan
Hadits atau yang disebut dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadis dapat disebut sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadis diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda Nabi s.a.w. :
من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النا ر
“Barang siapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka disediakan”
Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, Hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in, memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Sebab ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW, dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak sama.
Atas dasar itulah, maka dalam menerima suatu Hadits, langkah yang harus dilakukan adalah dengan meneliti siapa pembawa Hadits itu (disandarkan kepada siapa Hadits itu), untuk mengetahui apakah Hadits itu patut kita ikuti atau kita tinggalkan. Oleh karena untuk memahami Hadits secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu diantaranya adalah dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah banyaknya pembawa Hadits (Sanad) itu.
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka untuk memahami Hadits ditinjau dari kuantitas sanad, maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai Hadits ditinjau dari kuantitas sanadnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hadist
Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanadnya.
Para ulama' berbeda pendapat tentang pembagian Hadits ditinjau dari sudut kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Diantara mereka ada yang mengelompokkannya menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur dan Hadits Ahad, dan ada pula yang membaginya menjadi dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
Ulama' golongan pertama, yang menjadikan Hadits Masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh sebagian ulama' ushul, diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashshash (305-307 H). Sedangkan golongan ulama' kedua, yang menjadikan Hadits Masyhur sebagai bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh kebanyakan ulama' ushul dan ulama' kalam. Mereka membagi Hadits menjadi dua bagian, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Berdasarkan pembagian ini, maka Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib merupakan bagian dari Hadits Ahad. Berangkat dari hal tersebut, guna memahami Hadits secara mudah dan benar, maka dalam pembahasan makalah ini penulis mengikuti pendapat yang kedua.
1.
Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti "mutatabbi'" yaitu yang (datang) berturut-turut dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian Hadits Mutawatir secara terminologi adalah :
فالحديث المتواتر هو
الحديث الذى رواه جمع يمتنع تواطؤهم على الكذب
عن جمع مثلهم من أول
السند إلى منتهاه[1]
Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
orang yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad
sampai akhir sanad.
Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal yang harus terpenuhi pada sesuatu Hadits yang dikategorikan Mutawatir, yaitu : Pertama, Hadits itu harus diriwayatkan oleh banyak orang. Kedua, Hadits itu diterima dari banyak orang pula. Ketiga, ukuran banyak di sini jumlahnya relatif, dengan ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta, dan keempat, Hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka[2].
Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
Dengan memperhatikan ta'rif di atas, maka suatu Hadits baru bisa dikatakan Mutawatir bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi harus berdasarkan hasil pengamatan panca indera. Dengan kata lain berita yang mereka sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya, penciumannya atau sentuhannya.
- Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap thabaqahnya. Jumlah sanad Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah-thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang. Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh empat tabi' at-tabi'in, tidak digolongkan Hadits Mutawatir, sebab jumlah sanadnya tidak seimbang antara thabaqah pertama dengan thabaqah-thabaqah berikutnya.
- Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka untuk bersepakat bohong (berdusta). Dalam hal ini para ulama' berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :
-
Abu at-Thayyib menentukan sekurang-kurangnnya
4 orang. Karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk
tidak memberi vonis kepada terdakwa.
-
Ash-habu as-Syafi'i menentukan 5 orang, karena
mengqiyaskan dengan jumlah para nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi
-
Sebagian ulama' menetapkan sekurang-kurangnya 20
orang, berdasarkan ketentuan yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-Anfal :
65 tentang sugesti Allah kepada orang mukmin yang tahan uji, yang berjumlah 20
orang saja dapat mengalahkan 200 orang[3].
إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين (الأنفال : 65)
Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh (al-Anfal
: 65)
-
Ulama' yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :
يا أيها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين (الأنفال : 64)
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang
mukmin yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).
-
Dan ulama' yang lain berpendapat bahwa jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 70 orang[4]. Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah
:
واختار موسى قومه سبعين رجلا لميقاتنا
Sedangkan Hadits Mutawatir terbagi kepada dua
bagian, yaitu Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma'nawi[5].
Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafdzi dan Ma'nawi adalah :
المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه ومعناه[6]
Hadits Mutawatir Lafdzi adalah
Hadits yang Mutawatir lafadz dan maknanya
Contoh dari Hadits Mutawatir Lafdzi ini yaitu :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (البخارى)
Barang siapa yang sengaja berdusta
atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat di neraka. (HR. Bukhori)
Menurut Abu Bakar
al-Bazzar, Hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian
ulama' mengatakan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan
lafadz dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada 10 kitab Hadits ;
al-Bukhori, Muslim, al-Darimi, Abu Dawuf, Ibnu Majah, al-Turmudzi,
al-Thayalisi, Abu Hanifah, al-Tabrhani, al-Hikam.
المتواتر المعنوي هو ماتواتر معناه دون لفطه[7]
Hadits Mutawatir Ma'nawi adalah
Hadits yang Mutawatir maknanya bukan lafadznya
Contoh dari Hadits
Mutawatir Ma'nawi tersebut adalah :
ما رفع ص.م يده حتى رؤي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه إلا
فى الإستسفاء
(متفق
عليه)
Nabi SAW tidak mengangkat kedua
tangannya dalam berdo'a selain dalam shalat istisqa dan beliau mengangkat
tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya
Hadits-hadits yang semakna dengan Hadits
tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan ada 100 Hadits), antara lain :
كان يرفع يده حدو منكبيه
Rasulullah SAW mengangkat tangan
sejajar dengan kedua pundak beliau
2. Hadits Ahad
Secara etimologi, kata "ahad" merupakan
bentuk jama' dari wahid yang berarti satu. Maka Khobar Ahad atau Khobar Wahid
adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :
الحد يث الاحد هوالحديث الذى لم يبلغ رواته مبلغ الحد يث
المتوتر سواء كان الراوى واحد او اثنين اوثلاثة ااو
اربعة اوخمسة
الى غير ذ لك من العداد التى لا تشعر بان الحديث د خل فى خبر المتوتر.
Artinya : “Hadis ahad adalah hadis
yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis mutawatir, baik rawinya itu
satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis
mutawatir”.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut
Hadits Ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Mutawatir[8]
Atau dengan kata lain, Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir[9]. Dan Hadits Ahad itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Masyhur, Hadits 'Aziz dan Hadits Gharib.
1. Hadits
Masyhur
Adapun yang dimaksud dengan Hadits Masyhur adalah :
الحد يث المشهور او
الحد يث المشتفيض هو الحد يث الذى رواه الثلا ثة فاكثر لم يصل درجة التوتر.
Hadits Masyhur adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih – dalam tiap thabaqah – serta belum
mencapai derajat Mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Masyhur ada
yang Shahih, ada yang Hasan dan ada yang Dho'if[10]. Hadits Masyhur yang Shahih artinya
Hadits Masyhur yang memenuhi syarat-syarat keshahihannya, Hadits Masyhur yang
Hasan artinya Hadits Masyhur yang kualitas perawinya di bawah kualitas perawi
Hadits Masyhur yang Shahih, sedangkan Hadits Masyhur yang Dho'if artinya Hadits
Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang salah satu syaratnya dari
syarat Hadits Shahih.
Menurut ulama' fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradhif dengan Hadits
Musthafid, sedangkan ulama' yang lain membedakannya. Suatu Hadits dikatakan
musthafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari
thabaqah pertama sampai thabaqah terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum
daripada Hadits Musthafid, yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap thabaqah tidak
harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu, dalam Hadits Masyhur
bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama adalah sahabat,
thabaqah kedua thabi'i, thabaqah ketiga tabi'it tabi'in dan thabaqah keempat
adalah orang-orang setelah tabi'it tabi'in, terdiri dari seorang saja, baru
kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali[11].
Adapun contoh dari Hadits Masyhur tersebut adalah :
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى (متفق عليه)
Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan
hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan (Muttafaqun
Alaihi)
Hadits tersebut pada
thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada thabaqah kedua
hanya diriwayatkan oleh al-Qamah sendiri, pada thabaqah ketiga diriwayatkan
oleh orang banyak, antara lain : Abd al-Wahhab, Malik, Hammad dan Sufyan.
Hadits tersebut biasa disebut Hadits Masyhur, atau disebut Hadits Gharib
pada awalnya dan Masyhur pada akhirnya[12].
Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu Hadits, kadang-kadang bukan
untuk memberikan sifat-sifat Hadits menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya
rawi yang meriwayatkan suatu Hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan
sifat suatu Hadits yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu
atau di kalangan masyarakat ramai. Dari sisi ini, maka Hadits Masyhur terbagi kepada :
- Masyhur di kalangan para muhadditsin
dan lainnya (golongan ulama' ahli ilmu dan orang umum)
- Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu
tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli Hadits saja, atau ahli
Fiqih saja, atau ahli Tasawuf saja, atau ahli Nahwu saja dan lain
sebagainya.
- Masyhur di kalangan orang-orang umum
saja.
2. Hadits 'Aziz
Ulama' Hadits memberikan ta'rif Hadits 'Aziz adalah :
الحد يث العزيز هو الحد يث الذى راه اثنان ولو كان في طبقة
واحدة ثم رواه بعد ذالك جما عة
Artinya: “Hadis ‘Aziz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua orang rawi itu pada satu tingkatan
saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.”
Dari definisi tersebut, kiranyanya dapat disimpulkan bahwa suatu Hadits dikatakan 'Aziz bukan saja yang meriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak dari thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir, tetapi sewaktu kedua thabaqat didapati dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai Hadits 'Aziz. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Ibnu Hibban mengatakan bahwa Hadits 'Aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua orang perawi pada setiap thabaqat tidak mungkin terjadi. Secara teori memang ada kemungkinan, tetapi sulit untuk dibuktikan[13].
Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu Hadits yang pada mulanya tergolong sebagai Hadits 'Aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi Hadits Masyhur, karena perawi pada thabaqat lainnya berjumlah banyak.
Dalam Hadits 'Aziz terdapat Hadits 'Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula yang Dha'if[14]. Hadits 'Aziz yang Shahih, Hasan dan Dha'if tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.
Contoh 1
: Hadits 'Aziz pada thabaqah pertama
قال رسول الله صلي الله عليه و سلَم : نحن الا خرون فى الد نيا
اسا بقون يوم القيامة (عن حذ يفة وأبو هريرة)
Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda, “ Kita
adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu
dihari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama yakni Hudzaifah Ibn al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, al-'Araj, Abu Shalih, Humam dan Abd al-Rahman.
Contoh 2 : Hadits 'Aziz pada thabaqah kedua
لا يؤمن احدكم حتى اكون احب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين
(متفق عليه)
Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya
dari pada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia
seluruhnya (Muttafaqun 'Alihi)
Hadits tersebut diterima oleh sahabat Anas Ibnu Malik (thabaqah pertama), kemudian diterima oleh Qatadah dan Abd Aziz (thabaqah kedua).
Dari Qatadah diterima oleh Husein al-Mu'allim dan Syu'bah, sedang dari Abd al-Aziz diriwayatkan oleh Abd al-Warits dam Ismail Ibnu Ulaiyah (thabaqah III). Pada thabaqah IV, Hadits itu diterima masing-masing oleh Yahya Ibn Ja'far dan juga Yahya Ibnu Sa'id dari Syu'bah, oleh Zubair Ibnu Harab dari Ismail, oleh Syaiban Ibnu Abi Syaibah dari Abd al-Warits.
3. Hadits Gharib
Adapun pengertian Hadits Gharib adalah :
الغريب هو ما إنفرد بروايته راو بحيث لم يروه غيره او إنفرد بزيادة فى متنه
او إسناده
Hadits Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
karena tidak ada orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal
penambahan terhadap matan atau sanadnya.
Hadis Gharib menurut bahasa adalah Hadist yang terpisah
atau yang menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai
berikut :
الحد يث الغريب هو الحد يث الَذي انفرد بروا يته شحص واحد فى اي
مضع وقع التفر د من السند.
Artinya: “Hadis gharib adalah hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun sanad ‘’
Contoh
hadis gharib:
عن عمر ابن الخطاب ضىالله عنه قال: سمعت سول الله صلى الله عليه
و سلم يقول: انما ا لاعمال با النيات و انما لكل امرئ ما نوى
(رواه البخارى و
مسلم و غير هما )
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya,
aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya
(memperoleh) apa yang diniatkan.”(HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Adapun maksud dari penyendirian rawi yaitu penyendirian rawi dalam meriwayatkan Hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi, artinya sifat atau keadaan si rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan Hadits tersebut.
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi seperti tertera di atas, maka Hadits Gharib ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib Nisbi.
a.
Gharib Mutlaq
Dikatakan Gharib Mutlaq, artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut kecuali dirinya sendiri.
Contoh :
الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان (متفق علعه)
Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang,
malu itu salah satu cabang dari iman (Muttafaqun 'Alaihi)
Hadits tersebut diterima oleh Abu Hurairah dan Abu Hurairah (sahabat) hanya diterima oleh Abu Shalih (tabi'in) dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah Ibn Dinar (tabi'u al-tabi'in) yang darinya juga hanya diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Bilal, dan dari Sulaiman diterima oleh Abu Amir. Baru setelah dari Abu Amir Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ubaidillah Ibn Sa'id dan Abdun Ibn Humaid yang dari keduanya, kemudian diterima oleh Muslim.
Mengenai Gharib Mutlaq ini, para ulama' berbeda pendapat, apakah penyendirian pada thabaqah sahabat juga termasuk ke dalam kategori Hadits Gharib atau tidak. Dengan kata lain, apakah kajian tentang keghariban Hadits itu juga termasuk pada thabaqah sahabat atau tidak. Menurut sebagian ulama', keghariban sahabat juga termasuk, sehingga apabila suatu Hadits diterima dari Rasulullah hanya oleh seorang sahabat (misalnya oleh Abu Hurairah sendiri atau oleh 'Aisyah sendiri), Hadits tersebut juga disebut Gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah berikutnya diterima oleh beberpa orang.
Menurut sebagian ulama' lainnya berpendapat bahwa, penyendirian sahabat tidak termasuk ke dalam Hadits Gharib. Keghariban Hadits menurut mereka hanya diukur pada thabaqah tabi'in (misalnya pada Ibn Syihab az-Zuhri) dan thabaqah-thabaqah berikutnya. Dengan demikian, suatu Hadits baru bisa dikatagorikan ke dalam Hadits Gharib apabila terjadi penyendirian pada thabaqah tabi'in atau thabaqah-thabaqah berikutnya.
b.
Hadits Gharib Nisbi
Disebut Hadits Gharib Nisbi, arti katanya Gharib adalah yang relatif. Ini maksudnya, penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan tertentu seorang rawi :
- Penyendirian tentang sifat keadilan dan kedhabitan dan ketsiqahan
rawi. Contoh :
كان رسول الله ص.م يقراء فى الأضحى والفطر بق والقران المجيد واقترب الساعة
وانشق القمر (اخرجه مسلم)
Konon Rasulullah SAW pada hari raya
Qurban dan hari raya Idul Fitri membaca
2. Penyendirian
tentang
امرنا رسول الله ص.م ان نقراء بفاتحة الكتاب وما تيسر منه (رواه ابو داوو)
Rasulullah memerintahkan kepada kita
agar membaca al-Fatihah
dan surat mudah
dari al-Qur'an (HR. Abu Dawud)
Hadits ini
diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid al-Thayalisi dari Hamam dan Qatadah dari
Abu Nasharah dan Sa'id yang kesemuanya berasal dari Bashrah.
- Penyendirian tentang meriwayatkannya
dari rawi tertentu. Contoh
:
أن النبى ص.م اَوْلمَ َعلى صفية بسوبق وتمر
Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan
walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan yang terbuat dari tepung gandum
dan kurma
Dalam sanad Hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa'il yang
meriwayatkan Hadits tersebut dari anaknya (Bakr Ibn Wa'il). Sedang perawi yang
lain tidak ada yang meriwayatkan demikian
Adapun penyendirian pada segi matan, artinya matan Hadits yang
diriwayatkan itu berbeda dengan periwayatan rawi-rawi lain.
Penyendirian seorang perawi seperti di atas, bisa pada keadilan dan
kedhabitannya, atau pada tempat tinggal atau
Dilihat dari sudut keghariban pada sanad dan pada matan, Hadits Gharib
terbagi kepada dua macam. Pertama, keghariban pada sanad dan matan
secara bersama-sama, dan kedua, keghariban pada sanad saja[15].
Yang dimaksud dengan Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama adalah
Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu silsilah sanad dengan satu
matan Haditsnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Gharib pada sanad saja adalah
Hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada
seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang
tidak populer. Periwayatan Hadits melalui sahabat yang lain seperti
ini disebut sebagai Hadits Gharib pada sanad.
Dari pembahasan tentang Hadits Gharib tersebut, jelasnya pada Hadits
Gharib mempunyai beberapa hukum (nilai) diantaranya :
- Shahih, yaitu jika perawinya
mencapai dhabith yang sempurna dan tidak ditentang oleh perawi yang lebih
kuat dari padanya.
- Hasan, yaitu jika dia mendekati
derajat yang di atas dan tidak ditentang oleh orang yang lebih rajah dari
padanya.
- Syad, yaitu jika ditentang oleh
orang yang lebih kuat dari padanya, sedang dia adalah orang kepercayaan.
- Munkar, yaitu jika ditentang
oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang diapun adalah orang yang
lemah.
- Matruk, yaitu jika dia tertuduh dusta
walaupun tidak ditentang oleh orang lain.
Oleh karena
yang demikian, terbagilah Hadits Gharib kepada tiga bagian, yaitu :
- Gharib Shahih, yaitu segala Hadits
Gharib yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
- Gharib Hasan, yaitu kebanyakan
Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan at-Turmudzi
- Gharib Dha'if, yaitu kebanyakan
Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan-sunan lain dan dalam musnad-musnad[16]
Untuk menetapkan suatu Hadits itu Gharib, hendaklah diperiksa lebih dulu
pada kitab-kitab Hadits, semisal kitab Jami' dan kitab Musnad, apakah Hadits
tersebut mempunyai sanad lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau
tidak. Kalau ada hilanglah kegharibannya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hadits yang diperkirakan Gharib
dengan maksud apakah Hadits tersebut mempunyai mutabi' atau syahid, disebut
i'tibar. Jadi yang dimaksud dengan i'tibar di sini adalah :
الإعتبار تتبُّعُ طرق الحديث من الجوامع والمساند والأجزاء
حتى يُعلم أن له متابعا أو شاهدا, أو ليس له شيئ منهما
I'tibar adalah meneliti jalan-jalan
Hadits dalam kitab-kitab Jami' Musnad dan
kitab-kitab juz untuk mengetahui apakah Hadits yang disangka fard (gharib) itu,
ada mutabi'nya atau tidak.[17]
2.2. Ketentuan umum Hadits Ahad
Pembagian Hadits Ahad kepada Masyhur, 'Aziz dan
Gharib tidak bertentangan dengan pembagian Hadits Ahad kepada Shahih, Hasan dan
Dha'if. Sebab membagi Hadits Ahad kepada tiga macam tersebut, bukan bertujuan
langsung untuk menentukan maqbul dan mardudnya suatu Hadits, tetapi bertujuan
untuk mengetahui banyak atau sedikitnya suatu sanad. Sedang membagi Hadits Ahad
kepada Shahih, Dha'if dan Hasan adalah bertujuan untuk menentukan dapat
diterima atau ditolaknya suatu Hadits.
Dengan demikian, Hadits Masyhur, 'Aziz itu masing-masing ada yang Shahih,
Hasan dan Dha'if. Juga tidak setiap Hadits Gharib itu tentu Dha'if. Ia
adakalanya Shahih, apabila memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak
bertentangan dengan Hadits yang lebih rajih. Hanya saja pada umumnya, Hadits
Gharib itu Dha'if, dan kalaupun ada yang Shahih, itupun hanya sedikit.
Contoh
Hadits Gharib yang Shahih adalah Hadits Ibnu Mas'ud RA :
قال رسول الله صلعم : نضّرالله عبدا سمع مقالتي فوعاها فأدّاها كما سمعها
Rasulullah SAW bersabda : Allah
mencemerlangkan seorang hamba yang mendengarkan pembicaraan-pembicaraanku, lalu
dipeliharanya, kemudian disampaikannya seperti yang diterimanya.
2.3. Kedudukan
Hadits Mutawatir Dan Hadits Ahad
Hadits Mutawatir jumlahnya banyak sekali dan sudah
pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu isnad/musthalahul Hadits,
karena ilmu Hadits membahas siapakah perawi Hadits itu, seorang muslim, adil,
dlabith ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya
yang perlu dibahas di dalam Hadits Mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang
meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama
memberitakan itu atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau karena
kebetulan saja, demikian pula keadaan yang melatar belakangi berita itu, terutama
kalau bilangan perawi itu tidak begitu banyak jumlahnya. Karena Hadits
Mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-ragu, baik dalam
masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah
maupun mu'amalah. Dan Hadits Mutawatir memberikan faedah qat'i (yakin),
sehingga bagi orang yang mengingkari Hadits mutawatir dihukumi keluar agama Islam
dan termasuk kafir[18].
Sedangkan menurut M. Ajaj al-Khotib, bahwa Hadits Mutawatir merupakan suatu
perintah atau larangan yang harus diikuti dan diamalkan oleh setiap orang
muslim[19].
Sedangkan Hadits Ahad memberikan faedah dhanni
(diduga keras akan kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan
keshahihannya dalam ilmu Hadits dan Ushul Fiqh[20].
Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad yang shahih diamalkan dalam bidang
amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak
di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus
ditegakkan atas dasar atau dalil yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya
memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu, mempercayai suatu i'tikad yang hanya
berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat
menghapuskan hukum dari al-Qur'an, karena al-Qur'an adalah Mutawatir, demikian
pendapat imam Syafi'i. Dan menurut Ahlu al-Dhahir (pengikut madzhab ad-Dahahiri)
bahwa Hadits Ahad juga tidak boleh dipakai untuk mentakhsiskan ayat-ayat
al-Qur'an yang 'am, pendapat ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut Hambali.
2.4. Perbedaan Hadis Mutawatir
dengan Hadis Ahad.
a Dari segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadsi ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan nasih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
b Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan ilmu qat’i (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa Hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan ilmu zanni(bersifat dugaan), bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
c Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada hadis ahad. Sedangkan kedudukan hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
d Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis mutawatir mustahiol bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur’an, sedangkan keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al-Qur’an. Bila dijumpai Hadist-hadist dalam kelompok Hadist ahad yang keterangan matan Hadistnya bertentangan dengan keterangan ayat Al-Qur’an, maka Hadist-hadist tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadist di tinjau dari kuantitasnya adalah dilihat dari
sanadnya yaitu ada dua yakni Hadits Mutawatir dan Hadist ahad
· Hadits Mutawatir yang memberikan faedah qat'i (yakin), wajib diamalkan tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah.
· Hadits Ahad memberikan faedah dhanni wajib diamalkan, baik dalam bidang amaliah, masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad
dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Pustaka Setia:
Ajaj al-Khotib, Muhammad.Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa
Musthalahuhu. Dar al-Manarah : Jeddah, Makkah
Al-Jawaby, Muhammad Thahir. Matnul
Hadisi an-Nabawy as-Syarif. Mu'assasah al-Karim Abdullah: Tunisia.
Al-'Aththar, Abdul an-Nashir Taffiqul.Úlumus as-Sunnah wa Dusturu
al-Ummah.
Anwar, Moh, Bc Hk.1981. Ilmu
Musthalah Hadits, al-Ikhlas: Surabaya.
Ash-Shiddieqy,
M. Hasbi. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang:Jakarta.
At-Thahhan, Mahmud.Taisiiru Musthalahul Hadisi.
'Atar, Nuruddin.
1997. Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi. Dar al-Fikr al-Mu'asir:
Beirut.
Hasan, A. Qadir. 1990. Ilmu
Mushthalah Hadits. CV Diponegoro; Bandung.
Rahman, Fatchur.
1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT al-Ma'arif: Bandung.
Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadits,
Gaya Media Pratama: Jakarta.
Soetari, Endang.
1997. Ilmu Hadits. Amal Bakti Press:Bandung.
Suparta, Munzier.
2003. Ilmu Hadits.PT Raja Grafindo Persada,:Jakarta.
[1] Muhammad Ajaj al-Khotib, Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa
Musthalahuhu, Dar al-Manarah, Jeddah, Makkah, hal : 315.
[2] Utang Ranuwijaya, 2001, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal : 125.
[3] Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT al-Ma'arif, Bandung, hal : 79.
[4] Nuruddin 'Atar, 1997, Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi, Dar al-Fikr al-Mu'asir, Beirut, hal : 405.
[5] A. Qadir Hasan, 1990, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro, Bandung, hal : 44.
[6] Mahmud at-Thahhan, Taisiiru Musthalahul Hadisi, hal : 20.
[7] Ibid, hal : 21.
[8] Ibid, hal : 22.
[9] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, hal : 74.
[10] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Úlumus as-Sunnah wa Dusturu al-Ummah, hal : 197.
[11] Fatchur Rahman, Op-Cit, hal : 86.
[12] Endang Soetari, 1997, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, hal : 125.
[13] Munzier Suparta, 2003, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 116.
[14] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Op-Cit, hal : 197.
[15] Utang Ranuwijaya, Op-Cit, hal : 149
[16] M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1987, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, hal 84.
[17] Ibid, hal : 90.
[18] Moh Anwar Bc Hk, 1981, Ilmu Musthalah Hadits, al-Ikhlas, Surabaya, hal : 31.
[19] Muhammad Ajaj al-Khotib, Op-Cit, hal : 316.
[20] Muhammad Thahir al-Jawaby, Matnul Hadisi an-Nabawy as-Syarif, Mu'assasah al-Karim Abdullah, Tunisia, hal : 439.
0 komentar:
Posting Komentar