Perundingan-Perundingan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
- Pertemuan Soekarno-Van Mook (25 Oktober 1945)
- Pertemuan Sjahrir-Van Mook (17 November 1945)
- Perundingan Sjahrir-Van Mook (10 Februari 1946)
- Perundingan di Hooge Veluwe (14-25 April 1946)
- Perundingan Linggajati (10 November 1946 – 25 Maret 1947)
- Perundingan Renville (17 Januari 1948)
- Persetujuan Roem-Royen / Roem-Roijen (7 Mei 1949)
- Konferensi Meja Bundar (KMB) / Dutch-Indonesian Round Table Conference (23 Agustus – 2 November 1949)
1. Pertemuan Soekarno-Van Mook (25 Oktober 1945)
Pertemuan antara Soekarno dengan Van Mook terjadi atas prakarsa Panglima AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pertemuan itu dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 1945, di Gambir Selatan, pukul 8 malam. Wakil Belanda yang hadir dalam pertemuan itu adalah Van Mook dan Van der Plas, sedang wakil pihak Indonesia ialah Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo dan Haji Agus Salim. Pertemuan itu dipimpin oleh Letnan Jenderal Christison sebagai wakil sekutu.Van Mook dalam pertemuan itu menyatakan, Tentang pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan ialah bahwa Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia atas perintah seperti apa yang dikemukakan Ratu Belanda Wilhemina dalam pidatonya tanggal 7 Desember 1942. Dalam pidatonya tersebut ternyata Belanda ada keinginan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintahan sendiri di lingkungan Kerajaan Belanda. Selanjutnya ada keinginan akan adanya pemerintahan peralihan selama 10 tahun sebelum dibentuk negara persemakmuran. H.A.Salim langsung menangkis pandangan Van Mook itu. Ia mengatakan bahwa pidato Ratu Wilhemina itu sudah ketinggalan jaman. Indonesia sekarang sudah merdeka.
Walaupun pertemuan ini belum mendapatkan titik pandang yang sama antara wakil-wakil Belanda dan para pemimpin Indonesia, namun karena pertemuan ini Kedua belah pihak telah mengetahui pandangan masing-masing dan pertemuan ini merupakan langkah awal dalam perundingan-perundingan selanjutnya.
2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook (17 November 1945)
Pertemuan antara Syahrir dan Van Mook berlangsung pada tanggal 17 November 1945 di Markas Besar Tentara Inggris, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Pertemuan ini bersifat lebih resmi dibanding pertemuan antara Soekarno dan Van Mook satu bulan sebelumnya. Pemrakarsa sekaligus tuan rumah pertemuan ini adalah Philip Christison. Dalam pandangannya Syahrir mengatakan bahwa yang terpenting adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga bangsa Indonesia dapat tumbuh menjadi bangsa yang demokratis dan berdaulat di seluruh wilayah Indonesia.Pertemuan Syahrir-Van Mook akhirnya juga tidak berhasil mencapai titik temu karena Belanda tetap berpegangan teguh pada isi pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942. Pertemuan kedua Sutan Syahrir-Van Mook berlangsung pada tanggal 10 Februari 1946.
3. Perundingan Sjahrir-Van Mook (10 Februari 1946)
Pertemuan pertama antara Sjahrir dan Van Mook pada tanggal 17 November 1945 dilanjutkan kembali pada perundingan Sjahrir-Van Mook yang dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Akan tetapi mediator dalam pertemuan ini bukan lagi Letnan Jenderal Sir Philip Christison, melainkan Sir Archibald Clark Kerr yang merupakan seorang diplomat handal dari pemerintahan Inggris Raya. Pada waktu itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut:
- Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth (Persemakmuran) berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
- Urusan dalam Negerti dijalankan Indonesia sedangkan urusan Luar Negeri oleh pemerintah Belanda
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut:
- Republik Indonesia harus diakui sebagai Negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda
- Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri da pertahanan disearahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonsia Belanda.
Usulan pertama diatas oleh Sutan Sjahrir tidak diterima dengan baik oleh Pihak Belanda, Sehingga Van Mook mengajukan usulan pribadi untuk melakukan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan kerajaan Belanda. Atas Usul tersebut, Sutan Sjahrir memberikan reaksi berupa balasan usulan kedua pada tanggal 27 Maret 1946 kepada Van Mook yaitu:
- Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de Facto RI atas Jawa dan Sumatera.
- Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS)
- RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Cutacao, menjadi peserta dalam ikatan Negara Belanda
4. Perundingan di Hooge Veluwe (14-25 April 1946)
Perundingan Hooge Veluwe merupakan lanjutan pembicaraan-pembicaraan yang didasarkan atas persetujuan yang telah disepakati antara Sutan Syahrir dan Van Mook. Kesepakatan itu tertuang dalam usul pemerintah Indonesia tanggal 27 Maret 1946. Perundingan itu diadakan di kota Hooge Valuwe, Belanda tanggal 14 – 25 April 1946. Delegasi yang hadir dalam perundingan Hooge Veluwe.
- Delegasi Belanda terdiri dari: Perdana Menteri Prof. Ir. Dr. W. Schermerhorn, Menteri Daerah-daerah Seberang Lautan Prof. Dr. J.H. Logemann, Menteri Luar Negeri Dr. J.H. van Roijen, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook, Prof. Baron van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Letnan Kolonel Surio Santoso.
- Delegasi Republik Indonesia terdiri dari Menteri Kehakiman Mr. Suwandi, Menteri Dalam Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr. A.G. Pringgodigdo.
- Pihak perantara Sir Archibald Clark Keer beserta stafnya.
Dalam perundingan ini Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura, sementara itu Indonesia menolak usulan negara persemakmuran. Dengan demikian perundingan ini tidak memberi kemajuan bagi RI, akhirnya perundingan ini dianggap gagal.
5. Perundingan Linggarjati (10 November 1946 – 25 Maret 1947)
Perjanian Linggarjati dilatarbelakangi oleh masuknya AFNEI yang diboncengi NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) ke Indonesia. Pada 29 September 1945, pasukan sekutu dan AFNEI datang ke Indonesia yang salah satu tujuannya untuk melucuti tentara Jepang setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Hal ini disebabkan karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia. Namun ternyata, kedatangan mereka diboncengi oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration).Pemerintah dan rakyat Indonesia pun menilai bahwa Belanda ingin kembali mencoba berkuasa di Indonesia. Pertempuran demi pertempuran pun terjadi, seperti pertempuran 10 November di Surabaya, pertempuran di Ambarawa, Medan Area, dan Pertempuran Merah Putih di Manado. Pertempuran-pertempuran ini menyebabkan kerugian pada kedua belah pihak. Pihak Kerajaan Belanda dan Indonesia akhirnya sepakat melakukan kontak diplomasi pertama dalam sejarah kedua negara.Perjanjian Linggarjati terjadi antara pihak Belanda dan Indonesia yang ditengahi oleh Inggris pada tanggal 11-13 November 1946. Linggarjati atau Linggajati ialah nama sebuah desa yang berada di antara Cirebon dan Kuningan serta terletak di kaki Gunung Ciremai. Pemilihan Linggarjati sebagai tempat perundingan disebabkan tempat ini netral bagi Belanda ataupun Indonesia. Pada saat itu Belanda dan Sekutu menguasai Jakarta, sedangkan Indonesia menguasai Yogyakarta. Tempat jalannya perundingan masih eksis hingga saat ini. Tempat ini pun kemudian dijadikan Museum Linggarjati.Meskipun Perundingan Linggarjati dilaksanakan pada tanggal 11-13 November 1946, tetapi para delegasi telah sampai di Linggarjati pada 10 November atau sehari sebelumnya. Pada waktu senggang, para delegasi memperbaiki isi-isi perjanjian agar kedua belah pihak bisa menemui titik temu untuk menyetujui perjanjian tersebut. Hasil perundingan diparaf 15 November 1945 di Jakarta dan diratifikasi 25 Maret 1947 di Istana Negara. Isi perjanjian meliputi bahwa Belanda mengakui wilayah Indonesia secara de facto serta pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Tokoh-tokoh penting yang menandatangani Perjanjian Linggar Jati adalah seabagai berikut:
- Pemerintah Indonesia mendelegasikan Sutan Syahrir sebagai Ketua, A.K. Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem.
- Pemerintah Belanda mendelegasikan Wim Schermerhon sebagai Ketua, H. J. van Mook, Max van Pool, F. de Boer.
- Pemerintah Inggris sebagai mediator atau penengah diwakili oleh Lord Killearn.
- Saksi tamu yang hadir pada pertemuan tersebut seperti Amir Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, Ali Budiharjo, Presiden Soekarno, dan Mohammad Hatta.
Perjanian Linggarjati yang disahkan pada 25 Maret 1947 memiliki 17 pasal. Inti dari hasil Perjanjian Linggarjati yakni sebagai berikut:
- Belanda secara de facto mengakui wilayah Republik Indonesia yaitu Jawa, Sumatera, dan Madura.
- Belanda diwajibkan meninggalkan wilayah Republik Indonesia paling lambat 1 Januari 1949.
- Pihak Indonesia dan Belanda mencapai kata sepakat untuk membentuk negara Republik Indonesia Serikta (RIS) yang terdiri dari wilayah Indonesia, Kalimantan dan Timur Besar sebelum tangga 1 Januari 1949.
- Dalam konteks Republik Indonesia Serikat, Pemerintah Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth atau Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepalanya.
Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda akhirnya melanggar kesepakatan yang telah disepakati bersama dalam Perjanjian Linggarjati. Gubernur Jenderal H. J. van Mook menyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan perjanjian tersebut. Tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I yakni serangan dari Tentara Belanda ke wilayah Indonesia.
6. Perundingan Renville (17 Januari 1948)
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan oleh Belanda dan Indonesia yang hasilnya ditandatangani di tanggal 17 Januari 1948 di geladak USS Renville, kapal perang Amerika yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Perundingan renville yang kemudian menghasilkan perjanjian renville dilakukan pada tanggal 8 Desember 1947 dengan ditengahi oleh Belgia, Australia dan Amerika Serikat yang disebut juga dengan nama Komisi Tiga Negara atau KTN.
KTN sendiri adalah sebuah badan arbitase yang berdiri atas persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas untuk mengawasi gencatan senjata dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Belanda dan Indonesia.
Perundingan renville dilatarbelakangi oleh situasi yang memanas selepas Belanda melanggar kesepakatan dalam perjanjian Linggarjati hingga kemudian melakukan agresi militer pertamanya ke Indonesia. Agresi militer Belanda ke Indonesia mendapat tentangan dari dunia luar, termasuk Amerika Serikat dan Inggris yang notabene adalah sekutu Belanda. Kemudian Australia dan India mengusulkan keadaan yang terjadi di Indonesia dibahas dalam rapat dewan keamanan PBB.
Pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan (DK) PBB mendesak pihak Belanda dan Indonesia melakukan gencatan senjata yang beberapa hari kemudian, tepatnya 4 Agustus 1947, kedua belah pihak mengumumkan untuk gencatan senjata yang juga menandai berakhirnya Agresi militer Belanda ke 1. Pada tanggal 18 September 1947. DK PBB membentuk sebuah komisi yang kemudian dikenal dengan sebutan KTN atau Komisi Tiga Negara. yang anggotanya terdiri dari Australia (Richard Kirby), Belgia (Paul van Zeeland) dan Amerika Serikat (Frank Graham). Tugas KTN di Indonesia adalah membantu penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda.
Tokoh tokoh atau delegasi yang hadir dalam perundingan yang dilakukan di kapal perang Renville tersebut diantaranya:
- Delegasi Republik Indonesia : Amir Syarifuddin (ketua), Haji Agus Salim (anggota), Ali Sastroamidjojo (anggota), Dr.Coa Tik Len (anggota), Dr. J.Leimena (anggota) dan Nasrun (anggota).
- Delegasi Belanda R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr.H.A.L van Vredenburgh (anggota), Dr. Chr. Soumoki (anggota) dan Dr. P.J. koets(anggota)
- Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland (anggota) dan Richard Kirby (anggota) ketiga orang ini adalah anggota KTN yang bertugas sebagai mediator utusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB
Dalam perundingan renville delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, Sedangkan Belanda dipimpin R. Abdulkadir Wijoyoatmojo seorang Indonesia yang berpihak pada belanda. Terdapat beberapa poin kesepakatan yang menjadi hasil dari perundingan Renville, diantaranya:
Wilayah Republik Indonesia yang diakui Belanda hanya, Yogyakarta,Jawa Tengah dan Sumatera TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur atau wilayah-wilayah kekuasaan Belanda Disetujuinya garis demarkasi yang menjadi pemisah antara wilayah Indonesia dengan daerah pendudukan Belanda.
Dalam perjanjian tersebut wilayah kekuasaan Republik Indonesia di pulau jawa hanya meliputi wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Perjanjian ini dinilai sangat merugikan Indonesia karena wilayah Republik Indonesia yang semakin sempit. Keadaan semakin bertambah parah ketika Belanda melakukan Blokade ekonomi pada wilayah-wilayah kekuasaan RI.
7. Persetujuan Roem-Royen / Roem-Roijen (7 Mei 1949)
Perundingan Roem-Roijen juga dapat disebut dengan Perjanjian Roem-Van Roijen merupakan sebuah perjanjian antara bangsa Indonesia dengan pihak Belanda yang bermula pada tanggal 14 April 1949 dan diselenggarakan di Hotel Des Indes Jakarta, yang kemudian ditandatangani pada 7 Mei 1949. Pemberian nama Roem-Roijen sendiri merupakan penggabungan dari kedua nama pemimpin delegasi, yakni Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman van Roijen dari pihak Belanda.
Serangan yang dilakukan oleh pihak Belanda pada Indonesia terutama serangan ke wilayah Yogyakarta serta penahanan para pemimpin Republik Indonesia menjadi latar belakang diadakannya perundingan Roem Royen. Dalam Agresi Militer II, Belanda melakukan sebuah propaganda bahwa TNI telah hancur, hal ini sangat dikecam oleh masyarakat dunia Internasional terutama Amerika serikat. Dengan adanya Agresi Militer ke II yang dilancarkan oleh pihak Belanda, PBB pun lantas bereaksi dengan membuat kewenangan KTN.
Kemudian KTN pun berubah nama menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia). UNCI dikepalai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat bersama Critchley dari Australia serta Harremans dari Belgia. Pihak DK-PBB pada 23 Maret 1949 memerintahkan UNCI agar menjadi penengah pada perundingan yang diselenggarakan antara pihak Republik Indonesia dengan Belanda. Dari pihak Indonesia, perundingan di ketuai oleh Mohammad Roem dan para anggota Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Sedangkan dari pihak Belanda di ketuai oleh Dr.J.H. Van Royen dengan anggotanya Blom, Jacob, dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.
Perundingan yang dilakukan para delegasi dari kedua belah pihak atara Indonesia dengan Belanda di Hotel Des Indes di jakarta, menghasilkan sebuah kesepakatan diantaranya sebagai berikut:
Seluruh angkatan militer Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri KMB (Konfrensi Meja Bundar) Pemerintahan RI harus segara dikembalikan ke Yogyakarta Seluruh militer bersenjata milik Belanda juga akan menghentikan seluruh operasi militer dan membebaskan semua tahanan politik. Kedaulatan RI akan diserahkan secara utuh tanpa adanya syarat sesuai sejarah perjanjian Renville pada 1948 Akan didirikan sebuah persekutuan antara Belanda dan Indonesia (RIS) dengan dasar sukarela dan persamaan Hak Semua hak, kewajiban serta kekuasaan yangmenjadi milik Indonesia akan diserahkan oleh pihak Hindia Belanda.
Pada 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley, antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), serta Belanda. Perundingan tersebut menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut:
- Belanda melakukan pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta yang akan dilaksanakan pada 4 Juni 1949.
- Perintah untuk menghentikan gerilya akan diumumkan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan segera dilaksanakan di Den Haag
8. Konferensi Meja Bundar (KMB) / Dutch-Indonesian Round Table Conference (23 Agustus – 2 November 1949)
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan pada 23 Agustus-2 November 1949 di Deen Haag mempertemukan pihak Republik Indonesia, Belanda, dan BFO. Pada Konferensi Meja Bundar pihak Indonesia diwakili oleh:
- Hatta (ketua)
- Moh. Roem
- Prof Dr. Mr. Supomo
- J. Leitnena
- Ali Sastroamijojo
- Djuanda
- Sukiman
- Suyono Hadinoto
- Sumitro Djojohadikusumo
- Abdul Karim Pringgodigdo
- Kolonel T.B. Simatupang
- Muwardi
- Pihak Belanda diwakili Van Maarseven dan pihak BFO diwakili oleh Sultan Hamid II. Konferensi Meja Bundar yang resmi dibuka pada 29 Agustus 1949 ini berlangsung alot hingga tanggal 2 November 1949 tercapai kesepakatan dengan tujuan utama yakni pengakuan kedaulatan.
- Berikut adalah hasil dari Konferensi Meja Bundar yakni :
- Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat. Pengakuan kedaulatan akan dilaksakan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
- RIS tediri dari RI dan 15 negara federal. Corak pemerintahan RIS diatur menurut konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung.
- RIS dan Kerajaan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda di bawah pimpinan Ratu Belanda. Uni itu merupakan badan konsultasi bersama untuk menyelesaikan kepentingan umum.
- Pasukan Belanda akan ditarik mundur dari Indonesia, sedangkan KNIL akan dibubarkan, dengan catatan bahwa anggotanya boleh masuk dalam jajaran TNI.
- Masalah Irian Barat akan diselesaika setahun kemudian setelah penyerahan kedaulatan RIS.
- Segala hutang Belanda sejak tahun 1942 harus diselesaikan oleh RIS.
Selanjutnya setelah tanggal 27 Desember 1949, diadakan penyerahan kekuasaan dari pihak Belanda kepada pihak Indonesia yang dilangsungkan di dua tempat yakni Indonesia dan Belanda. Penyerahan kekuasaan yang dilangsungkan di Indonesia bertempat di Istana Merdeka, Jakarta dengan pengakuan kedaulatan dari Wali Tinggi Mahkota Belanda Lovink kepada wakil pemerintah RIS Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara penyerahan kekuasaan di Belanda berlangsung di Amsterdam dan Ratu Yuliana yang menandatangani piagam pengakuan kedaulatan RIS. Disetujuinya hasil dari Konferensi Meja Bundar maka terbentuklah Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari 16 negara bagian dengan luas dan jumlah penduduk yang berbeda.
Sumber:
Primadia, Adara. Perundingan Roem-Roijen – Latar Belakang, Isi dan Dampaknya. https://sejarahlengkap.com/indonesia/kemerdekaan/pasca-kemerdekaan/perundingan-roem-roijen. Diakses pada tanggal 05 Agustus 2020.- Salamadian. 2018. PERJANJIAN RENVILLE : Latar Belakang, Tokoh dan Isi Perjanjian Renville, LENGKAP!. https://salamadian.com/isi-perundingan-perjanjian-renville/. Diakses pada tanggal 05 Agustus 2020.
- Kusumaningsih, Asih. Sejarah Perjanjian Linggarjati Singkat dan Lengkap. https://sejarahlengkap.com/indonesia/kemerdekaan/pasca-kemerdekaan/sejarah-perjanjian-linggarjati. Diakses tanggal 05 Agustus 2020.
- Setyawan, Doni. 2020. PENYEBAB KEGAGALAN PERUNDINGAN HOOGE VELUWE. http://www.donisetyawan.com/penyebab-kegagalan-perundingan-hooge-veluwe/. Diakses pada tanggal 05 Agustus 2020.
Anonim. 2019. Sutan Syahrir bertemu Van Mook (17-11-1945). https://tragedisosialdansejarah.blogspot.com/2014/09/sutan-syahrir-bertemu-van-mook-17-11.html. Diakses tanggal 05 Agustus 2020 Anonim. 2019. Perjuangan Diplomasi Pertemuan Soekarno - Van Mook. https://tragedisosialdansejarah.blogspot.com/2014/01/perjuangan-diplomasi-pertemuan-soekarno.html. Diakses tanggal 05 Agustus 2020 Jun. 2018. Sejarah Perundingan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. https://learniseasy.com/sejarah-perundingan-mempertahankan-kemerdekaan-indonesia/#. Diakses tanggal 05 Agustus 2020
0 komentar:
Posting Komentar