IKLAN 1

Jumat, 04 Agustus 2023

Berpolitik bagi NU .....

Tahun-tahun politik orang menyebutnya, disebabkan karena tahun 2024 akan menjadi tahun Pemilihan Umum serentak, baik pemilihan Eksekutif maupun Legislatif. Tentu banyak yang bertanya dimanakah posisi Nahdlatul Ulama (NU) dalam kontestasi politik yang diadakan setiap 5 Tahun sekali. Bahkan pertanyaan-pertanyaan  tentang sikap Ketua Suriah atau Tanfidziyah dimasing-masing daerah juga mulai dipertanyakan dan diperdebatkan.


Sumber gambar: Laduni.id

Tentu saja kebebasan politik setiap warga negara dilindungi dan dijamin oleh Undang-undang. Namun dalam berpolitik, Nahdlatul Ulama memiliki pendoman umum yang menjadi dasar setiap warga dan kader NU disetiap gerak politik masing-masing. Pedoman ini dibuat akibat dari keputusan NU pada Muktamar ke 27 di Situbondo tahun 1984 untuk mengembalikan NU ke Khittah 26.  Artinya NU tidak lagi terlibat, atau terikat dengan satu partai politik manapun atahu bahkan menjadi partai politik itu sendiri.

Dalam Pedoman Berpolitik Warga NU keputusan Muktamar NU ke 28 di Yogyakarta, terdapat 9 pokok penting Pedoman berpolitik bagi warga NU. Pada poin ke 7 dinyatakan bahwa "Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan". Berpolitik itu tidak hanya membawa kepentingan umum, namun juga atau mungkin lebih banyak membawa kepentingan pribadi, mungkin juga kepentingan secara kepartaian. Walaupun demikian hendaknya kemslahatan masyarakat umum yang lebih diutamakan.

Pada poin ke 8 dinyatakan bahwa "Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama". Poin 8 ini menggambarkan bahwa NU menyadari banyaknya aspirasi dari warga NU yang mungkin tidak bisa diwakili oleh satu pihak saja. Namun didalam perbedaan aspirasi dan pandangan hendaknya tetap mengedapankan persatuan dan kesatuan terkhususnya dilingkungan warga NU.

Mungkin disebagian warga NU politik itu identik dengan sesuatu yang bersifat "tabu", kotor atau mungkin sesuatu yang identik dengan "negatif". Tentu saja pandangan ini dibolehkan, sebab untuk menjaga kemurnian dan esensi Khittah 26 diperlukan pandangan-pandangan seperti demikian. Namun perlu dipahami juga bahwa NU sendiri adalah sesuatu yang lahir akibat dari proses Politik. Wallahu a'lam bishsowab.


0 komentar:

Posting Komentar